Jl. Kandang Perahu No. 23, Karyamulya, Kec. Kesambi, Kota Cirebon 0822-3014-4449 / 0896-0604-2157 Email: pkbh.syekhnurjati@gmail.com
Isabt Nikah

ISBAT NIKAH: SOLUSI HUKUM UNTUK PERNIKAHAN TANPA PENCATATAN DI INDONESIA

ISBAT NIKAH: SOLUSI HUKUM UNTUK PERNIKAHAN TANPA PENCATATAN DI INDONESIA

Oleh : Dian Yustika Sopian – Relawan PKBH

 

Isbat nikah adalah mekanisme hukum dalam sistem peradilan agama Indonesia yang bertujuan untuk mengesahkan perkawinan yang sah secara agama tetapi belum tercatat secara administratif oleh negara. Fenomena perkawinan yang tidak tercatat atau tidak tercatat masih marak di masyarakat, terutama di kalangan umat Islam, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mewajibkan pencatatan perkawinan untuk menjamin kepastian hukum. Isbat nikah memberikan solusi untuk memberikan pengakuan negara terhadap perkawinan tersebut, sehingga memenuhi hak-hak suami, istri, dan anak dapat terpenuhi, seperti hak waris, nafkah, dan administrasi kependudukan.

 

Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah

Istilah “pengukuhan” dalam pernikahan berasal dari kata Arab “isbat” yang berarti bukti, dan kata “nikah” yang berarti ikatan perkawinan. Menurut putusan Mahkamah Agama, pengukuhan pernikahan mencakup penegasan asas-asas pernikahan, yaitu ijab qabul (persetujuan), wali, saksi, dan mahar. Namun, perlu dicatat bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama, tetapi ayat (2) mewajibkan pencatatan perkawinan untuk kepentingan hukum. Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan tanpa akta nikah dapat diajukan melalui proses isbat di pengadilan agama. Ayat (3) membatasi kasus isbat hanya pada keadaan seperti hilangnya akta nikah, keraguan tentang syarat-syarat perkawinan, atau perkawinan yang dilakukan sebelum UU Perkawinan.

Ketidakmampuan Pengadilan Agama dalam menjelaskan perkawinan juga melibatkan pemahaman argumentasi baik konsensus maupun non-konsensual, dimana hakim bertindak sebagai arbiter tanpa menggunakan peradilan. Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1975 yang memberikan kesempatan kepada Pengadilan Agama untuk menjelaskan ketaatan siri demi terhadap hukum. Hal ini juga tertuang dalam fikih klasik, dimana mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i memaknai perkawinan siri karena tidak bertentangan dengan i’lan. Namun perkawinan modern diibaratkan dengan sertifikasi pasca-akad untuk mencapai kemaslahatan (kemanfaatan), seperti melindungi anak dari siri perkawinan.

 

Proses dan Syarat Pengajuan Isbat Nikah

Proses pengesahan nikah diawali dengan pengajuan permohonan ke Pengadilan Agama setempat, dengan persyaratan ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

  1. Persyaratan Permohonan : Pemohon harus menyerahkan surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang menyatakan tidak adanya pencatatan nikah, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan keterangan saksi. Alasan pengajuan permohonan antara lain perkawinan di luar negeri, kehilangan akta nikah, atau kehilangan hak hukum anak (misalnya, akta kelahiran). Proses ini meliputi sidang tunggal, pemeriksaan saksi, dan penetapan hakim.
  2. Tahapan Sidang : Dimulai dengan pendaftaran perkara, pemanggilan pemohon, pemeriksaan alat bukti (alasan perkawinan), dan penetapan hakim (pengesahan). Hakim mempertimbangkan faktor hukum (alat bukti) dan faktor non-hukum (anak dan keluarga) sebelum mempertimbangkan permohonan.Untuk pernikahan siri pasca-UUP, hakim menggunakan ijtihad berdasarkan KHI Pasal 7 ayat (3) huruf (e), jika tidak ada halangan nikah. Contoh: Pernikahan di Malaysia oleh TKI Kangean dilegalkan untuk hak administrasi anak.

Isbat nikah memberikan panduan hukum, tetapi juga menimbulkan ketegangan.

Dampak Positif: Meningkatkan status anak, hak nafkah dan waris, serta administrasi negara (akta kelahiran, KK). Hal ini menjadikan anak “luar kawin” menurut UUP Pasal 42–43, sehingga nasabnya terhubung dengan ayat tersebut.

Dampak Negatif: Potensi penggunaannya dalam poligami terselubung atau dalam menentukan sanksi pencatatan. Pernikahan siri tanpa isbat menyebabkan anak hanya dekat dengan orang tuanya, yang menghambat kemampuan mereka untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan.

Pada Kesimpulannya, Isbat nikah merupakan solusi hukum fundamental untuk mengatasi ketegangan antara administrasi agama dan nasional. Meskipun ditentang oleh KHI, ijtihad hakim memperbolehkan penerapan siri demi maslahah, terutama untuk melindungi anak dan anggota keluarga. Namun, diperlukan regulasi untuk mencegah penyalahgunaan, seperti sanksi bagi KUA yang jauh dan sosialisasi. Dengan demikian, isbat nikah tidak hanya mengurangi asas keadilan tetapi juga memperbaiki hukum perkawinan Indonesia.

 

Sumber referensi :

Fauzi, A. (2021).Isbat Nikah Solusi Bagi Nikah Siri. Jurnal Sosains, 1(9), 978-984. http://sosains.greenvest.co.id

Huda, M., & Azmi, N. (2020).Legalisasi Nikah Siri Melalui Isbat Nikah. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 5(2), 98-119. ISSN: 2541-1489.

Nopitasari, K. Karim, & M. A. F. Syahril. (2022).Isbat Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan. Jurnal Hukum, 9(2), 142-150. ISSN: 2963-9360.

Nurlaelawati, E. (2013). Pernikahan Tanpa Pencatatan: Isbat Nikah Sebuah Solusi?. Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, 12(2), 261-277.

Zainuddin, A. (2022).Legalitas Pencatatan Perkawinan Melalui Penetapan Isbat Nikah. Al-Mujtahid: Journal of Islamic Family Law, 2(1), 60-72. http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/almujtahid

 

Leave a Reply