Jl. Kandang Perahu No. 23, Karyamulya, Kec. Kesambi, Kota Cirebon 0822-3014-4449 / 0896-0604-2157 Email: pkbh.syekhnurjati@gmail.com
hukum positif

Ketika Hukum Bertemu Takdir: Status Anak di Luar Nikah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia

Ketika Hukum Bertemu Takdir: Status Anak di Luar Nikah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesi

Oleh: Farhan Al Farizi – Relawan PKBH UIN SSC

Setiap kelahiran anak membawa cerita yang tidak jarang sarat problematika. Ada yang hadir sebagai buah cinta dalam pernikahan yang sah, namun ada pula yang lahir akibat gejolak sesaat. Namun, persoalan utama bukan sekadar tentang bagaimana mereka datang ke dunia, melainkan ke mana arah hukum akan membawa nasib mereka. Di Indonesia, negara yang menempatkan agama dan hukum pada posisi penting, anak di luar nikah kerap terjebak dalam ruang abu-abu, disangkal sebagian norma, namun diperjuangkan oleh sebagian lainnya. Anak-anak ini tidak memilih untuk lahir dalam kondisi demikian, tetapi merekalah yang menanggung stigma sosial dan beban hukum akibat keputusan orang dewasa.

Perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi pada era digital telah mengguncang banyak tabu sosial, dan di tengah generasi yang lantang menyuarakan kesetaraan, muncul gelombang baru, yakni kesadaran bahwa hukum harus lebih manusiawi, lebih peka, dan lebih adil. Maka dari itu, diskursus tentang anak luar nikah bukan lagi semata-mata soal nasab dan norma, tapi juga soal keadilan dan masa depan bangsa.

Pesan ini ditujukan bagi mereka yang tengah menghadapi realitas dari sebuah keputusan yang telah diambil di luar ikatan yang disyariatkan. Bagi yang masih berada dalam posisi menjaga diri, hendaknya terus menempuh jalan dengan penuh kehati-hatian dan menjauh dari perbuatan yang dapat menimbulkan dampak sosial, moral, maupun hukum. Sebab, menjaga batas adalah bentuk kesadaran dan tanggung jawab terhadap diri sendiri serta generasi yang akan datang.

Anak diluar Nikah dalam Islam

Menurut mayoritas ulama fikih, anak yang lahir di luar pernikahan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Ayah biologis tidak otomatis diakui sebagai wali, pewaris, ataupun penanggung nafkah. Hal ini merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Anak itu milik ranjang (pernikahan), dan bagi pezina adalah batu (kerugian)” (HR. Bukhari).

Dalam karya Al-Istilhaq wa At-Tabanny fi Asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa pengadopsian yang mengubah status nasab anak angkat menjadi seperti anak kandung bertentangan dengan syariat. Namun, untuk anak hasil zina, nasab bisa disandarkan pada ayah biologis jika ayah tersebut mengakui (istilhaq) anaknya, dengan syarat sang ibu tidak berada dalam ikatan pernikahan dengan pria lain. Dengan pengakuan ini, anak memiliki hak waris dan perwalian sebagaimana anak sah.

Lebih jauh, hubungan nasab dalam Islam dapat terjalin melalui dua sebab utama: pernikahan yang sah atau pengakuan (istilhaq). Apabila seorang pria mengakui anak hasil zina sebagai darah dagingnya, dan sang ibu tidak dalam pernikahan dengan pria lain, maka secara syar’i anak dapat dinasabkan kepadanya.

Imam Syafi’i memiliki pendekatan yang lebih menekankan pada kalkulasi biologis. Menurut beliau, anak yang lahir minimal enam bulan setelah akad nikah sah memiliki hubungan nasab dengan suami ibunya. Namun, jika anak lahir kurang dari enam bulan sejak akad, maka ia dianggap anak tidak sah yang tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.

Anak diluar Nikah dalam Hukum Positif

Dalam hukum positif Indonesia, istilah anak luar nikah merujuk pada anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah secara hukum. Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, hal ini mengalami perubahan penting setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, yang menegaskan bahwa anak luar nikah juga dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, apabila dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Tes DNA) atau alat bukti lain yang sah menurut hukum.

Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 272, diatur bahwa anak luar nikah dapat disahkan dan memperoleh kedudukan hukum seperti anak sah apabila diakui oleh ayah dan ibunya sebelum atau dalam pernikahan mereka. Adapun Pasal 251 KUH Perdata memberi ruang bagi suami untuk mengingkari anak yang lahir dalam jangka waktu tertentu setelah pernikahan, kecuali terdapat keadaan khusus yang menggugurkan hak pengingkaran tersebut.

Untuk menguatkan hak-hak anak luar nikah, beberapa langkah hukum dapat ditempuh, yaitu:

  1. Permohonan penetapan status anak ke pengadilan
  2. Pengakuan resmi dari ayah
  3. Gugatan untuk pemenuhan nafkah
  4. Mediasi sebagai upaya penyelesaian damai.

 

Keadilan Bagi yang Tak Pernah Memilih

Anak yang lahir di luar nikah bukanlah pihak yang harus dihukum atas dosa yang tidak ia lakukan. Mereka adalah manusia utuh, dengan potensi, mimpi, dan hak hidup yang sama. Meski dunia kadang menorehkan stigma, hukum hadir sebagai pelindung yang mengangkat martabat anak-anak ini, mengingatkan kita bahwa setiap jiwa pantas mendapatkan kesempatan hidup yang adil dan bermakna. Dengan demikian, perjuangan hukum bukan sekadar formalitas, melainkan wujud nyata dari kepedulian bangsa untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan bagi generasi yang tak pernah memilih bagaimana mereka dilahirkan.

Islam telah memberikan jalan yang mulia dan terhormat dalam menyalurkan rasa cinta dan kasih sayang, yaitu melalui ikatan pernikahan yang sah. Menjaga kehormatan bukan hanya soal ketaatan pribadi, tetapi juga bagian dari membangun masa depan yang lebih bermartabat dan terarah.

 

Sumber

Abdul Hamid Dunggio, Zulkarnain Suleman, Dedi Sumanto, “Status Hukum Anak Diluar Nikah dalam Perspektif Fikih Islam dan Hukum Positif Indonesia” As-Syams: Journal Hukum Islam, Vol. 2, No. 1, (2021).

https://jombang.nu.or.id/bahtsul-masail/hamil-di-luar-nikah-dan-melahirkan-begini-status-anak-dan-nasabnya-menurut-fiqih-bzPqO

https://mubadalah.id/anak-hasil-zina-wajib-diakui-nasab-oleh-ayah-biologis/

https://www.hukumonline.com/klinik/a/anak-sah-dan-anak-luar-kawin-lt5e3beae140382/

Iza Afkarina, M. Nur Khotibul Umam, “Status Anak di Luar Nikah Komparasi Hukum Islam dan Hukum Positif” Al-Muqaranah: Jurnal Perbandingan Madzhab, Vol. 2, No. 2, (2024).

Yahya Ibadu Rahman, Zainal Abidin, “Pengakuan Status Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif” Lisyabab: Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 5, No. 2, (2024).

 

Leave a Reply