Wajahku, Suaraku, Tapi Bukan Aku?
Tantangan Hukum Terhadap Deepfake Dan Manipulasi Identitas Digital
Oleh: Siti Aisyah Zulfa – Relawan PKBH UINSSC
Di tengah revolusi teknologi digital yang semakin masif, muncul fenomena baru yang menimbulkan kegelisahan global: teknologi deepfake. Teknologi ini memungkinkan seseorang untuk menciptakan konten audio-visual yang tampak nyata namun sepenuhnya palsu, dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk meniru wajah, suara, atau gerak tubuh orang lain. Hasilnya, siapa pun dapat “dihidupkan” secara digital dalam adegan yang tidak pernah mereka alami. Wajah selebritas bisa muncul dalam film pornografi, suara pejabat negara bisa terdengar memberikan pernyataan palsu, atau video orang biasa bisa disulap menjadi pelaku kejahatan. Maka muncullah pertanyaan yang semakin mengemuka dalam masyarakat digital: bagaimana jika wajahku dan suaraku digunakan, padahal itu bukan aku?
Teknologi deepfake berkembang sangat pesat dalam waktu singkat. Awalnya digunakan untuk eksperimen teknologi dan hiburan, kini deepfake menjadi senjata yang bisa digunakan untuk pencemaran nama baik, penipuan digital, manipulasi politik, bahkan pemerasan. Tak hanya itu, dalam konteks media sosial, penyebaran konten deepfake dapat merusak reputasi seseorang secara luas dalam hitungan detik. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak masyarakat awam belum bisa membedakan antara video asli dan video hasil rekayasa. Ini menciptakan krisis kepercayaan terhadap media digital, di mana siapa pun bisa diragukan kebenarannya, bahkan jika menyampaikan fakta.
Secara hukum, Indonesia belum memiliki regulasi spesifik yang mengatur secara eksplisit tentang teknologi deepfake. Namun, sejumlah perangkat hukum dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang membuat dan menyebarkan konten manipulatif berbasis identitas digital. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi memberikan landasan penting dalam perlindungan elemen identitas seperti wajah, suara, dan biometrik sebagai data pribadi yang tidak boleh digunakan tanpa persetujuan pemilik. Penggunaan data tersebut untuk keperluan manipulatif jelas merupakan bentuk pelanggaran yang dapat dikenai sanksi administratif dan pidana.
Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 27A dan Pasal 29, dapat digunakan untuk menjerat pelaku penyebaran konten deepfake yang bermuatan penghinaan, ancaman, atau pencemaran nama baik. Bila konten tersebut mengandung unsur palsu yang menyesatkan publik atau menciptakan kepanikan, maka Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU ITE juga dapat diterapkan. Namun demikian, efektivitas penerapan UU ITE dalam konteks deepfake sering kali masih terbatas, karena kesulitan dalam membuktikan niat pelaku, lokasi server, hingga pembuat konten asli yang kadang menyamarkan identitas secara teknis.
Dari sisi pidana umum, manipulasi identitas digital yang merugikan seseorang dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, jika terdapat kerugian materiil. Bila digunakan untuk merusak reputasi atau melakukan pemerasan, pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal tentang pemalsuan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan. Namun semua ini bergantung pada kemampuan aparat penegak hukum dalam memahami dan mengurai bukti digital yang kompleks dan cepat berubah.
Tantangan besar muncul dalam aspek pembuktian hukum. Konten deepfake sering kali sangat meyakinkan dan tersebar secara luas di berbagai platform tanpa metadata yang utuh. Verifikasi keaslian video atau suara memerlukan keahlian digital forensik yang tidak semua aparat penegak hukum miliki. Di sisi lain, platform media sosial belum memiliki regulasi internal yang memadai dalam mengidentifikasi atau menandai konten deepfake. Ini menyebabkan pelaku memiliki ruang leluasa untuk menyebarkan konten palsu, sementara korban kesulitan mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang cepat.
Persoalan semakin kompleks ketika deepfake digunakan untuk kepentingan politik atau ideologi. Dalam konteks pemilu, misalnya, video manipulatif yang menampilkan kandidat sedang melakukan tindakan tercela bisa dengan mudah memengaruhi opini publik sebelum sempat diklarifikasi. Situasi ini bukan hanya membahayakan integritas personal, tetapi juga mengancam demokrasi. Maka urgensi regulasi yang mengatur teknologi ini menjadi semakin nyata. Beberapa negara telah mulai menyusun hukum khusus terkait penggunaan deepfake, seperti Amerika Serikat melalui Deepfake Report Act dan Uni Eropa dengan kebijakan AI Act. Indonesia perlu mengikuti langkah serupa dengan menetapkan batasan etis dan hukum penggunaan AI, terutama dalam hal yang berkaitan dengan identitas pribadi dan informasi publik.
Dari sisi akademik, berbagai studi telah memperingatkan potensi bahaya teknologi deepfake terhadap hak privasi, kebebasan berpendapat, dan keadilan hukum. Dalam kajiannya, Lestari dan Alamsyah (2022) menyatakan bahwa absennya regulasi khusus mengenai deepfake menciptakan kekosongan hukum yang membuat korban sulit mendapatkan keadilan. Sementara itu, penelitian oleh Hasibuan (2023) menunjukkan bahwa deepfake telah digunakan untuk menyebarkan hoaks politik dan menyasar tokoh publik dengan tujuan pembunuhan karakter. Penelitian dari Karima dan Puspasari (2024) bahkan menekankan perlunya pendekatan multidisipliner dalam menanggulangi penyalahgunaan teknologi AI, termasuk kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan penyedia platform digital.
Lebih jauh, teknologi deepfake tidak hanya menyasar tokoh terkenal. Orang biasa juga bisa menjadi korban. Kasus penyebaran video pornografi deepfake dengan wajah korban yang direkayasa menjadi contoh nyata dari ancaman nyata bagi keselamatan dan martabat perempuan di ruang digital. Ini bukan lagi soal reputasi, tapi soal pelanggaran hak asasi manusia. Maka sudah sepatutnya teknologi ini tidak hanya direspons secara teknis, tetapi juga secara normatif dan sosial.
Menyadari semua itu, dibutuhkan pendekatan hukum yang progresif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi. Indonesia perlu segera merancang kerangka regulasi khusus yang tidak hanya menjerat pelaku penyebaran deepfake, tetapi juga mencakup pencegahan, edukasi, hingga pemulihan korban. Selain itu, penguatan kapasitas penegak hukum dalam digital forensik serta kemitraan dengan platform digital global menjadi kunci penting untuk menanggulangi penyebaran konten manipulatif. Di saat yang sama, masyarakat perlu dibekali dengan literasi digital yang mampu mengasah nalar kritis, agar tidak mudah terprovokasi oleh konten yang tampak nyata namun sejatinya palsu.
Dalam dunia di mana keaslian bisa ditiru dan kebohongan bisa terlihat sangat meyakinkan, pertahanan terbaik bukan hanya teknologi yang canggih, tetapi hukum yang adil dan publik yang cerdas. Deepfake bukan hanya tantangan teknis, melainkan juga ujian moral dan konstitusional: apakah negara mampu melindungi identitas warganya dari bentuk penyerangan baru yang tak terlihat, tapi sangat merusak. Maka wajar jika muncul keresahan: wajahku, suaraku, tapi bukan aku—dan sayangnya, tak semua hukum hari ini mampu menjawabnya.
Referensi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), beserta perubahan dalam UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 1 Tahun 2024
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pasal 378, 310, 335
Lestari, F., & Alamsyah, R. (2022). Vacuum of Law in Deepfake Regulation: A Challenge for the Indonesian Legal System. Jurnal Hukum & Teknologi
Hasibuan, A. (2023). Deepfake dan Hoaks Politik: Ancaman Nyata Demokrasi Digital. Jurnal Politik Digital, Vol. 5 No. 1
Karima, S., & Puspasari, I. (2024). Etika Kecerdasan Buatan dan Perlindungan Identitas Digital. Jurnal Hukum Siber Indonesia, Vol. 6 No. 2