Jl. Kandang Perahu No. 23, Karyamulya, Kec. Kesambi, Kota Cirebon 0822-3014-4449 / 0896-0604-2157 Email: pkbh.syekhnurjati@gmail.com
hukum positif

Terjebak Pinjol Ilegal: Utang Hilang, Masalah Datang! Membedah Perlindungan Hukum Bagi Korban Pinjaman Online Ilegal

Terjebak Pinjol Ilegal: Utang Hilang, Masalah Datang!

Membedah Perlindungan Hukum Bagi Korban Pinjaman Online Ilegal

Oleh: Siti Aisyah Zulfa  – Relawan PKBH UINSSC

Di tengah gempuran era digital, muncul fenomena baru yang menjanjikan kemudahan namun menyimpan ancaman: pinjaman online (pinjol). Layanan ini awalnya hadir sebagai solusi keuangan instan, terutama bagi masyarakat yang sulit mengakses layanan perbankan formal. Namun, realitasnya berbeda jauh dari harapan. Di balik tampilan aplikasi yang canggih dan proses pencairan yang cepat, banyak warga terjerat dalam sistem pinjaman yang tidak transparan, memberatkan, dan dioperasikan oleh entitas ilegal. Dalam banyak kasus, korban tidak hanya mengalami kerugian finansial, tetapi juga tekanan mental, sosial, dan bahkan fisik.

Pinjol ilegal bekerja di luar kendali negara. Mereka tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tidak terikat pada regulasi pelindung konsumen. Modusnya pun beragam—mulai dari iming-iming pencairan tanpa jaminan, persyaratan mudah, hingga penagihan yang bersifat mengintimidasi dan melanggar hukum. Dalam kondisi terdesak, masyarakat yang kesulitan ekonomi mudah tergoda. Ketika tidak mampu membayar tepat waktu, mereka dihadapkan pada ancaman: penyebaran data pribadi, pelecehan seksual lewat pesan, penghinaan ke kontak darurat, hingga penyebaran hoaks tentang pribadi korban di media sosial.

Fenomena ini bukan lagi isu personal, melainkan problem sosial sistemik. Korban pinjol ilegal tidak hanya berasal dari kelompok ekonomi bawah. Buruh, mahasiswa, ibu rumah tangga, bahkan pekerja profesional juga terjebak. Dalam beberapa kasus tragis, korban memilih mengakhiri hidup karena tidak sanggup menghadapi tekanan.

Sayangnya, sebagian besar masyarakat belum memahami bahwa pinjol ilegal beroperasi tanpa dasar hukum. Banyak korban masih merasa harus membayar “utang” mereka, padahal secara hukum, perjanjian antara korban dan entitas pinjol ilegal dapat dianggap tidak sah. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016, yang menyatakan bahwa hanya penyedia jasa pinjaman online yang terdaftar dan berizin yang boleh menjalankan operasinya di Indonesia.

Selain itu, perlindungan hukum terhadap korban pinjol ilegal dapat dijabarkan dari beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang melarang tindakan penyebaran data pribadi, ancaman melalui media elektronik, dan penghinaan daring. Pasal 26 dan Pasal 29 UU ITE memberikan dasar hukum untuk menuntut pelaku yang menyebarkan data pribadi secara ilegal atau mengintimidasi korban.

Kedua, Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi memperkuat kerangka hukum dengan memberikan hak kepada setiap individu untuk mengontrol dan melindungi datanya. Hal ini sangat relevan mengingat mayoritas pinjol ilegal menyalahgunakan akses data pribadi pengguna dan menggunakannya sebagai alat pemerasan saat terjadi keterlambatan pembayaran.

Ketiga, dari perspektif perlindungan konsumen, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menetapkan bahwa setiap konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan produk atau jasa. Konsumen, dalam konteks pinjol ilegal, dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami.

Namun demikian, meskipun kerangka hukum tersedia, implementasinya tidak selalu berjalan efektif. Korban sering kali tidak melapor karena takut, malu, atau tidak mengetahui bahwa mereka berhak mendapatkan perlindungan. Aparat penegak hukum pun kadang tidak cukup sigap dalam menangani laporan pinjol ilegal, terutama jika pelaku menggunakan identitas fiktif atau beroperasi dari luar negeri. Selain itu, belum semua masyarakat memiliki literasi hukum yang memadai, sehingga terjebak dalam lingkaran kekerasan digital tanpa tahu cara keluar.

Berbagai studi akademik menunjukkan bahwa negara perlu memperkuat pendekatan perlindungan hukum terhadap korban pinjol ilegal. Sugangga dan Sentoso (2020) menemukan bahwa praktik pinjol ilegal sering menempatkan pengguna pada posisi yang sangat lemah dan cenderung dikriminalisasi ketika tidak mampu membayar, padahal mereka adalah korban sistem. Yuwana (2021) dalam penelitiannya menyebut bahwa penyebaran data pribadi oleh debt collector pinjol merupakan bentuk pelanggaran serius yang belum sepenuhnya ditindak secara tegas oleh otoritas. Di sisi lain, Sinaga dan Alhakim (2022) menyoroti kurangnya kemampuan teknis aparat penegak hukum dalam menindak pelaku kejahatan digital, yang menyebabkan rendahnya angka penyelesaian kasus pinjol ilegal. Clarence dan Sugiyono (2024) menekankan pentingnya mekanisme ganti rugi yang kolektif seperti class action untuk membantu korban mendapatkan keadilan. Fadliyansyah (2024) bahkan menyarankan pendekatan berbasis keadilan restoratif yang mengutamakan pemulihan korban, bukan hanya penghukuman pelaku.

Edukasi digital dan literasi hukum harus dijadikan agenda nasional, termasuk integrasi materi tentang pinjol ilegal dalam pendidikan formal. Pemerintah harus memperkuat kerja sama lintas kementerian, dari OJK, Kominfo, hingga Kepolisian untuk memberantas aplikasi pinjol ilegal secara berkelanjutan. Penegakan hukum harus dilakukan tidak hanya terhadap pelaku lapangan, tetapi juga terhadap pengembang dan pihak pendukung teknis aplikasi. Perlindungan terhadap korban harus bersifat proaktif, dengan menyediakan akses konsultasi hukum gratis, perlindungan psikologis, dan jalur penyelesaian sengketa yang adil dan cepat.

Pada akhirnya, keberadaan pinjol ilegal adalah simbol dari ketimpangan akses keuangan dan ketidaksiapan sistem hukum menghadapi transformasi digital. Selama masyarakat tidak diberdayakan secara hukum dan negara tidak bertindak tegas, korban-korban baru akan terus berjatuhan. Perlindungan hukum bukan sekadar norma tertulis, melainkan harus menjadi kenyataan yang dirasakan setiap warga negara—terutama mereka yang paling rentan.

Referensi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), beserta perubahannya dalam UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 1 Tahun 2024
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Surat Edaran MA No. 2 Tahun 2021.
Sugangga, R., & Sentoso, E. H. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Pinjaman Online Ilegal.
Yuwana, F. (2021). Perlindungan Hukum Data Pribadi dalam Kasus Pinjaman Online Ilegal.
Sinaga, E. P., & Alhakim, A. (2022). Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Pengguna Pinjol Ilegal.
Clarence, J., & Sugiyono, H. (2024). Pelindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Investasi Ilegal.
Fadliyansyah, R. (2024). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Investasi Ilegal.

Leave a Reply