PERBANDINGAN REGULASI POLIGAMI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM
Oleh: Sri Wahyuni – Relawan PKBH UINSSC
Poligami masih menjadi tema perdebatan hangat di dunia Islam kontemporer. Praktik ini diatur dengan ragam pendekatan hukum di berbagai negara Muslim, mencerminkan interaksi antara ajaran agama, nilai keadilan gender, dan kebutuhan sosial modern.
Di Indonesia, poligami diperbolehkan namun diawasi ketat. Seorang suami yang hendak berpoligami wajib mengantongi izin Pengadilan Agama, yang menilai kelayakan, termasuk kemampuan memberi nafkah lahir dan batin secara adil. Sistem ini bertujuan melindungi hak-hak perempuan dan mencegah penyalahgunaan. Meski diizinkan secara agama, praktik poligami di Indonesia dipagari syarat administratif untuk memastikan prinsip keadilan.
Malaysia menerapkan pendekatan serupa namun dengan rincian hukum yang lebih eksplisit. Setiap permohonan poligami harus diajukan ke Mahkamah Syariah dengan mengisi formulir resmi yang memuat alasan, kondisi finansial, dan persetujuan istri. Pengadilan Syariah akan memanggil semua pihak terkait dalam sidang tertutup untuk memastikan keadilan. Tanpa izin tertulis, poligami dianggap tidak sah dan pelakunya dapat dipidana denda atau penjara.
Berbeda dengan itu, Mesir memperbolehkan poligami dengan syarat pemberitahuan resmi. Berdasarkan Article 11 Bis of Law No. 25 of 1929 (amendemen Law No. 100 of 1985), suami wajib memberi tahu istri pertamanya melalui pengadilan. Istri memiliki hak menuntut cerai jika mengalami kerugian moral atau fisik akibat poligami. Pendekatan ini menegaskan hak perempuan untuk menentukan nasib pernikahan ketika prinsip keadilan dilanggar.
Di sisi lain, Turki dan Tunisia menempuh jalur larangan penuh terhadap poligami. Turki sejak 1926 mereformasi hukum keluarga dengan mengadopsi Undang-Undang Sipil Swiss. Pasal 130 KUH Perdata Turki menegaskan asas monogami mutlak, menyatakan pernikahan kedua tidak sah jika pernikahan pertama belum putus. Negara ini secara tegas memisahkan hukum agama dari hukum negara, dengan alasan perlindungan terhadap perempuan dari ketidakadilan.
Tunisia mengambil langkah serupa melalui Code of Personal Status 1956, yang melarang poligami secara total. Pasal 18 kode tersebut menyatakan laki-laki yang menikah lagi tanpa mengakhiri pernikahan pertama akan dikenai sanksi pidana. Larangan ini lahir dari interpretasi progresif bahwa poligami adalah bentuk ketidakadilan gender dan tidak sesuai dengan prinsip kasih sayang dalam rumah tangga Islam.
Sementara itu, Arab Saudi tetap mempertahankan kebolehan poligami sesuai syariat Islam, membolehkan maksimal empat istri sekaligus. Sistem hukumnya berbasis fiqh Hanbali tanpa kodifikasi tertulis khusus mengenai poligami. Praktik ini umum dijumpai, khususnya di kalangan kaya, dan bahkan sempat didorong sebagai solusi sosial oleh otoritas agama untuk mengatasi fenomena perempuan lajang dewasa.
Perbandingan ini menunjukkan keberagaman kebijakan di dunia Islam. Sebagian negara memilih membatasi ketat atau melarang poligami demi keadilan gender dan penyesuaian dengan tuntutan sosial modern. Sementara lainnya mempertahankan praktik poligami dengan pendekatan hukum Islam tradisional yang menekankan persyaratan keadilan di antara istri-istri.
Referensi
Rozendana, Fahed Zurrofin, Kasuwi Saiban, dan Noer Yasin. “Isbat Nikah pada Perkawinan Siri Poligami: Tinjauan Perbandingan Hukum Positif dan Maslahah Mursalah.” Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam 5, no. 1 (2024).
Akbarizan, dkk. “Poligami dan Kasus Hukum: Studi Perbandingan Antara Malaysia, Enakmen Islam Selangor 2003, dan Indonesia, Kompilasi Hukum Islam.” Hukum Islam 21, no. 1 (2021).
Hanafiah, Novri, Syarifuddin, dan Ali Murtadho. “Perbandingan Hukum Keluarga Islam di Arab Saudi, Indonesia, Turki, dan Iran: Perspektif, Implementasi, dan Dampaknya.” At-Taklim: Jurnal Pendidikan Multidisiplin 2, no. 4 (2025).
Afdhal, Refo, Umar Hasan, dan M. Amin Qodri. “Perbandingan Pengaturan Poligami di Indonesia dan Malaysia.” Zaaken: Journal of Civil and Business Law 2, no. 3 (2023).
Anfasya, Raka Haikal dan Natasya Yunita Sugiastuti. “Perbandingan Hukum Ketentuan Perkawinan Poligami di Indonesia dan Mesir.” Reformasi Hukum Trisakti 5, no. 2 (2023).
Karimullah, Suud Sarim. “Poligami Perspektif Fikih dan Hukum Keluarga Negara Muslim.” Maddika: Journal of Islamic Family Law 2, no. 1 (2021).
Sofiana, Neng Eri dan Dian Meiningtyas. “Reaktualisasi Perlindungan Perempuan dalam Hukum Keluarga Islam di Arab Saudi dan Mesir.” Indonesian Journal of Shariah and Justice (IJSJ) 3, no. 1 (2023).