Mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan di Indonesia
Oleh: Dean Alfaris – Relawan PKBH UINSSC
Akhir – akhir ini sering kita lihat pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dikebut/dipercepat atau revsi sesuka hati bahkan pembuatan undang-undang yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat tetapi hanya menguntungkan elit atau penguasa?
Lantas bagaimana alur yang sesuai dalam proses pembentukan suatu Undang- Undang?
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Sebuah undang-undang harus dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa materi muatan undang-undang harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang, pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat
Sebuah peraturan perundang-undangan dibentuk melalui 5 tahap sebagai berikut:
- Perencanaan
Penyusunan undang-undang diawali dengan perencanaan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang berfungsi sebagai daftar prioritas pembentukan undang-undang dalam upaya membangun sistem hukum nasional. Prolegnas mencantumkan judul rancangan undang-undang, isi materi yang akan diatur, serta keterkaitannya dengan regulasi lainnya. Penyusunannya dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah, dan dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi. Di DPR, usulan untuk Prolegnas dapat berasal dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, maupun masyarakat. Prolegnas disusun untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas. Prolegnas jangka menengah ditetapkan di awal masa keanggotaan DPR. Setelah disepakati oleh DPR dan Pemerintah, Prolegnas ditetapkan melalui rapat paripurna DPR dan disahkan dengan Keputusan DPR.
2. Penyusunan
Rancangan undang-undang (RUU) dapat diusulkan oleh DPR maupun Presiden. Setiap RUU harus disertai dengan naskah akademik, yaitu hasil kajian ilmiah atas suatu isu hukum yang menjadi dasar pengaturan dalam RUU tersebut. RUU yang diajukan DPR, Presiden, atau DPD disusun berdasarkan Prolegnas. Jika berasal dari Presiden, penyusunannya dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai kewenangan masing-masing. Dalam proses ini, dibentuk panitia antarkementerian atau antar lembaga terkait. Menteri yang menangani urusan hukum akan mengoordinasikan proses harmonisasi, penyempurnaan, dan perumusan akhir RUU. Setelah proses tersebut selesai, RUU disampaikan kepada DPR melalui surat Presiden yang juga menunjuk menteri untuk mewakili Presiden dalam pembahasan bersama DPR. Pembahasan harus dimulai paling lambat 60 hari setelah surat diterima DPR.
3. Pembahasan dan Pengesahan
Pembahasan RUU dilakukan melalui dua tingkat. Tingkat I melibatkan rapat komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau Panitia Khusus, dan mencakup penjelasan Presiden, pandangan fraksi dan DPD, serta pembahasan daftar inventarisasi masalah. Setelah itu, dilakukan penyampaian pendapat mini dari fraksi, DPD, dan pemerintah. Tingkat II adalah pengambilan keputusan di rapat paripurna, termasuk penyampaian laporan pembahasan, pernyataan sikap fraksi dan DPD, serta pandangan akhir pemerintah yang disampaikan oleh menteri terkait. Jika tidak tercapai mufakat, keputusan diambil melalui pemungutan suara. Bila tidak terjadi kesepakatan antara DPR dan Presiden, RUU tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama. Penarikan RUU dapat dilakukan sebelum atau selama proses pembahasan, tetapi penarikan saat pembahasan memerlukan persetujuan bersama. Jika disetujui, RUU diserahkan kepada Presiden untuk disahkan dalam waktu paling lama 7 hari sejak persetujuan dicapai. Presiden harus menandatangani dalam 30 hari; bila tidak, RUU tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
4. Pengundangan
Agar undang-undang diketahui publik dan memiliki kekuatan hukum, maka perlu diundangkan. Pengundangan dilakukan dengan mencantumkan undang-undang tersebut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia serta Tambahan Lembaran Negara. Proses ini dilaksanakan oleh menteri yang membidangi urusan hukum. Sebuah undang-undang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang itu sendiri.
5. Penyebarluasan
Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak tahap perencanaan Prolegnas, penyusunan, pembahasan, hingga setelah pengundangan. Tujuannya adalah memberikan informasi dan mengakomodasi masukan dari masyarakat serta pemangku kepentingan. RUU yang berasal dari Presiden disosialisasikan oleh instansi pengusul. Undang-undang yang telah diundangkan disebarluaskan bersama oleh DPR dan Pemerintah. Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam proses ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011. Masyarakat dapat memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis, melalui berbagai forum seperti rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, seminar, dan diskusi. Akses terhadap rancangan peraturan perundang-undangan harus terbuka agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan