KETIKA VIRAL BERUJUNG PIDANA? YUK BEDAH PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBEBASAN BEREKPRESI
Oleh: Sri Wahyuni – Relawan PKBH UINSSC
Era media sosial memudahkan setiap orang menyampaikan pendapat. Namun, kebebasan ini kerap berbenturan dengan perlindungan nama baik. Banyak kasus viral yang berakhir di meja hijau menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Publik pun menilai ada kriminalisasi ekspresi di ruang digital.
Menilik data dari Polisi Siber Indonesia, jumlah laporan kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terus meningkat dan didominasi oleh kasus pencemaran nama baik melalui media sosial, yang menduduki peringkat kedua setelah perkara penipuan online. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sendiri telah mengalami perubahan dua kali melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Regulasi ini dibentuk sebagai kontrol terhadap kebebasan berpendapat yang berujung pada perbuatan negatif dan merugikan pihak lain. Penilaian terhadap perbuatan yang dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik harus memperhatikan konten dan konteks. Secara sederhana, konten yang dijadikan masalah dapat dinilai dari sisi bahasa, sedangkan konteks dilihat dari aspek sosial atau psikologis. Secara hakiki, orang bersangkutanlah yang dapat menentukan dan menilai secara subjektif apakah konten tersebut telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat sebagai bagian dari hak asasi manusia, sehingga delik pencemaran nama baik memuat unsur delik aduan yang pada dasarnya memberikan perlindungan kepada korban.
Akan tetapi, ketentuan yang diatur dalam UU ITE tidak cukup memberikan kejelasan mengenai delik dan penjelasannya, karena dapat diartikan secara luas dan tidak merujuk pada batasan pengecualian yang mengkualifikasikan konten dan konteks sebagai pencemaran nama baik. Hal ini kerap kali memicu kriminalisasi kebebasan berpendapat, karena pada dasarnya semua konten dan konteks yang memuat unsur argumen dan kritik dapat dianggap sebagai penghinaan karena penilaian terhadap tingkat pencemaran nama baik sepenuhnya diberikan kepada korban.
Pasal 310 KUHP menjelaskan “seseorang atau badan hukum yang dengan sengaja menyerang kehormatan seseorang atau menuduh melakukan perbuatan tertentu (bepaal feit) dengan tujuan nyata (kennelijk doel) untuk menyiarkan pada khalayak ramai.” Hingga saat ini, tindakan pencemaran nama baik masih mengacu pada definisi yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 310 dan 311 KUHP, yakni secara sengaja menyerang kehormatan seseorang dengan cara menuduh atau menistakan nama baik seseorang. Ketentuan pencemaran nama baik dalam UU ITE pun masih merujuk pada pengertian tersebut sesuai penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Fenomena ini juga marak terjadi di dunia bisnis melalui review produk. Review produk merupakan salah satu cara mengenalkan suatu produk dengan mengulas kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki. Namun, kondisi ini tidak selalu berjalan baik. Pelaku usaha kerap merasa tersakiti dengan review negatif yang dianggap merusak reputasi brand atau perusahaan, sehingga berujung pada tuntutan terhadap konsumen dengan dugaan pencemaran nama baik.
Sedangkan, Pasal 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memberikan jaminan atas kebebasan individu untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya di ruang publik. Sejalan dengan itu, beberapa aliansi masyarakat sipil dan yayasan mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap beberapa pasal yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi. Pasal-pasal yang diuji meliputi Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP tentang penghinaan, serta Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong. Namun, MK menolak permohonan terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena pasal tersebut telah diubah menjadi Pasal 27A dalam UU No. 1 Tahun 2024, sehingga permohonan tersebut dianggap kehilangan objek. Menanggapi hasil revisi kedua UU ITE, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE mengungkapkan bahwa revisi tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan.
Perubahan regulasi dalam UU ITE, khususnya terkait delik pencemaran nama baik, menghadirkan dilema normatif dan praksis yang menuntut kajian lebih lanjut, terutama dalam konteks negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak konstitusional warganya. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 27A tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan menilai ketentuan tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum atas martabat dan kehormatan seseorang. Putusan MK ini menunjukkan bahwa meskipun norma telah diperbarui, potensi pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi masih tetap ada. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran ketat dan pembatasan secara yuridis terhadap penggunaan Pasal 27A agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum demokratis, terutama dalam menjamin hak atas kebebasan berpendapat di ruang digital.
Referensi
Undang-Undang No 1 Tahun 2024
Yan Ferdinal dan Pudji Astuti, “Tinjauan Yuridis Kebebasan Berpendapat Konsumen Terkait Review Produk di Media Sosial”, Novum: Jurnal Hukum, Vol. 10 No. 3 (2023).
Masna Nuros Safitri dan Eko Wahyudi, “Pendekatan Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Sebagai Implementasi Asas Ultimum Remedium” Jurnal Esensi Hukum, Vol. 4, No. 1 (Juni 2022).
Dicky Andika Rauf, Ahamd, dan Moh. Rivaldi Moha, “Ekuivalensi Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan Nama Baik Pasca Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial & Hukum, Vol. 3 No. 2 (Mei 2025).