DILEMA HUKUM WARIS: ISLAM, ADAT ATAU PERDATA, SALAH PILIH BISA RUNYAM! BAGAIMANA SOLUSINYA?
Oleh: Achmad Faozan – Relawan PKBH UINSSC
Mungkin dari kita banyak atau bahkan sering melihat orang ribut gara-gara warisan. Tidak hanya di sinetron, tapi di kehidupan nyata juga banyak terjadi. Bahkan dalam keluarga yang kita kenal sebagai keluarga harmonis-pun ketika warisan dibahas, suasana yang tadinya tenang berbuah seketika layaknya “ruang sidang”.
Bukan hanya soal “siapa dapat berapa?”, lebih dari itu bahkan soal “hukum waris mana yang harus dipakai?”. Sampai sini sudah terbayang bagaimana runyamnya?
Bagi kita yang hidup di Indonesia, menjawab pertanyaan ini tidak segampang “mengerjakan soal ujian anak SD”. Karena ternyata, kita punya tiga system hukum waris yang hidup berdampingan! Inilah letak dilemanya.
Terdapat tiga sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia
- Hukum waris Islam.
Hanya berlaku bagi umat Islam, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 172 “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.
- Hukum waris perdata (KUHPerdata)
Hukum waris ini berlaku bagi non-Muslim, setelah lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
- Hukum waris adat
Soepomo dalam Bab-bab tentang Hukum Adat menerangkan bahwa hukum waris adat adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang atau harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud dari generasi yang sat uke generasi berikutnya.
Lantas, bagaimana kalau dalam satu keluarga punya unsur campuran?
Inilah dilema nyata yang sering terjadi di masyarakat:
- Jika satu keluarga muslim, namun selama hidup almarhum tidak pernah menjalankan hukum Islam secara administratif;
- Bagaimana jika ada anggota keluarga yang pindah agama?
- Orang tuanya beragama Islam, tapi anak-anaknya malah lebih memilih pendekatan hukum barat karena mungkin menganggap dirasa “lebih adil”
Pertanyaan besar, hukum manakah yang dianggap sah dalam kasus ini? Bolehkah kita memilih?
Nah, secara umum hukum waris islam berlaku hanya bagi Muslim, sedangkan hukum perdata berlaku bagi non muslim. Tidak menutup kemungkinan dalam praktiknya bisa saja terjadi kesepakatan keluarga untuk memakai salah satu system, dengan catatan “Asal semua ahli waris setuju”.
Masalahnya muncul ketika:
- Ada salah satu pihak yang menolak pembagian waris versi keluarga, lalu menggugat ke pengadilan
- Tidak ada surat wasiat atau penetapan hukum yang jelas dari pewaris sebelum meninggal
- Proses administrasi (seperti balik nama tanah) terbentur dengan aturan formal, yang menuntut penetapan ahli waris berdasarkan hukum tertentu
Solusi: Bukan pilih hukummana, tapi siapkan dari awal
Alih-alih bingung setelah orang tua wafat, Langkah terbaik yang harus dilakukan adalah:
- Membuat surat wasiat. Meski terkesan “Menyeramkan”, namun ini justru menjadi penyelamat di kemudian hari
- Tetapkan secara tertulis hukum mana yang digunakan, bahkan bisa dimuat dalam akta wasiat atau surat pernyataan ahli waris
- Musyawarah sejak awal, jangan menunggu muncul gugatan di pengadilan
Mungkin, istilah sedia payung sebelum hujan relevan untuk menggambarkan situasi ini.
Kita hidup di negeri yang menganut system hukum plural. Memahami hukum waris adalah hal krusial yang sudah sepantasnya kita memahaminya dengan baik. Bukan hanya soal hukum “mana yang benar”, lebih dari itu adalah untuk menghindari konflik dan memastikan hubungan keluarga tetap harmonis.
Karena sejatinya, warisan bukan hanya soal harta, tapi juga soal warisan nilai, ilmu dan kepribadian yang diwarisi dari orang tua.
Sumber:
Hukum Online: https://www.hukumonline.com/berita/a/pembagian-harta-warisan-lt61e8acde312c6/?page=2
JDIH BPK RI: https://peraturan.bpk.go.id/Details/40154/uu-no-3-tahun-2006