Jl. Kandang Perahu No. 23, Karyamulya, Kec. Kesambi, Kota Cirebon 0822-3014-4449 / 0896-0604-2157 Email: pkbh.syekhnurjati@gmail.com

Tanggung Jawab Hukum atas Penyebaran Hoaks di Media Sosial: Perspektif Etika dan Penegakan Hukum

Tanggung Jawab Hukum atas Penyebaran Hoaks di Media Sosial: Perspektif Etika dan Penegakan Hukum

Oleh Sohibul Wapa Atoillah, S.H.I., M.H.

Media sosial pada awalnya hadir sebagai ruang kebebasan, tempat orang bisa berbagi informasi, mengekspresikan diri, dan membangun jejaring tanpa batas ruang dan waktu. Kehadiran teknologi digital ini mengubah cara manusia berinteraksi, sekaligus membuka peluang bagi penyebaran informasi yang begitu cepat dan luas. Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, media sosial juga menghadirkan tantangan besar, salah satunya adalah maraknya peredaran hoaks atau berita bohong. Hoaks bukan sekadar kesalahan informasi yang sepele, melainkan dapat menimbulkan dampak serius, baik pada tatanan sosial, politik, ekonomi, maupun keamanan suatu negara.

Fenomena hoaks bukanlah hal baru, tetapi kehadiran media sosial membuat penyebarannya menjadi jauh lebih masif. Sebuah berita bohong yang ditulis di satu akun pribadi bisa menyebar ke ribuan orang hanya dalam hitungan menit. Seringkali, hoaks dibungkus dengan bahasa provokatif, gambar yang menggugah emosi, atau narasi yang seolah-olah logis sehingga mampu memengaruhi opini publik dengan cepat. Di sinilah letak bahayanya, sebab hoaks mampu menciptakan keresahan, mengadu domba kelompok masyarakat, bahkan memicu tindakan kriminal.

Secara etika, penyebaran hoaks mencerminkan perilaku yang tidak bertanggung jawab. Etika komunikasi di ruang digital seharusnya didasarkan pada kejujuran, kebaikan, dan penghormatan terhadap orang lain. Setiap individu memiliki kewajiban moral untuk memastikan kebenaran informasi sebelum membagikannya. Namun, dalam kenyataannya, banyak orang lebih mementingkan sensasi, popularitas, atau kepentingan tertentu dibandingkan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Etika digital menuntut adanya kesadaran bahwa setiap klik “bagikan” memiliki konsekuensi nyata di dunia sosial, dan penyalahgunaan media sosial melalui penyebaran hoaks sama saja dengan mengabaikan nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial.

Dari perspektif hukum, penyebaran hoaks tidak bisa dipandang sebagai perbuatan ringan. Negara berkewajiban melindungi masyarakat dari dampak negatif informasi palsu, sehingga lahirlah regulasi yang mengatur masalah ini. Di Indonesia, salah satu instrumen utama adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Dalam ketentuan ini, penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerugian bagi orang lain dapat dikenakan sanksi pidana. Artinya, siapapun yang dengan sengaja menyebarkan hoaks bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. Penegakan hukum ini bukan semata untuk menghukum, tetapi juga untuk memberikan efek jera serta melindungi kepentingan umum.

Meski demikian, penegakan hukum atas penyebaran hoaks seringkali menghadapi tantangan. Salah satunya adalah sulitnya membedakan antara informasi yang benar-benar hoaks dengan sekadar opini atau kritik. Media sosial adalah ruang terbuka bagi ekspresi, sehingga negara harus berhati-hati agar penindakan hukum tidak melanggar kebebasan berpendapat yang juga dijamin konstitusi. Tantangan lain adalah kecepatan penyebaran hoaks yang jauh melampaui kemampuan aparat dalam menelusuri dan menindak pelaku. Di sinilah dibutuhkan keseimbangan antara perlindungan terhadap masyarakat dari bahaya hoaks dan penghormatan terhadap hak kebebasan berekspresi.

Dalam praktiknya, tanggung jawab atas hoaks tidak hanya dibebankan pada individu sebagai pengguna media sosial, tetapi juga pada platform penyedia layanan. Perusahaan media sosial memiliki kewajiban untuk melakukan moderasi konten, menindak akun yang terbukti menyebarkan hoaks, dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Namun, tanggung jawab utama tetap berada di tangan setiap individu, karena tanpa kesadaran etis dari para pengguna, regulasi hukum tidak akan pernah cukup untuk menghentikan laju penyebaran berita bohong.

Oleh karena itu, membangun kesadaran hukum dan etika digital menjadi hal yang sangat penting. Pendidikan literasi digital harus diperkuat agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan yang palsu. Setiap orang perlu menyadari bahwa menyebarkan hoaks bukanlah tindakan sepele, melainkan perbuatan yang bisa menjerat dirinya pada tanggung jawab hukum sekaligus menodai nilai-nilai etika dalam bermasyarakat.

Pada akhirnya, tanggung jawab hukum atas penyebaran hoaks di media sosial tidak bisa dipisahkan dari aspek etika. Etika menjadi fondasi kesadaran moral, sementara hukum menjadi instrumen untuk menegakkan aturan ketika kesadaran itu diabaikan. Keduanya saling melengkapi. Etika mengajarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan hukum mengatur konsekuensi atas apa yang dilakukan. Dengan memadukan keduanya, diharapkan ruang digital dapat menjadi tempat yang sehat, produktif, dan bermanfaat bagi semua pihak.

 

Leave a Reply