Jl. Kandang Perahu No. 23, Karyamulya, Kec. Kesambi, Kota Cirebon 0822-3014-4449 / 0896-0604-2157 Email: pkbh.syekhnurjati@gmail.com

Implikasi Hukum E-Commerce terhadap Perlindungan Konsumen di Indonesia

Implikasi Hukum E-Commerce terhadap Perlindungan Konsumen di Indonesia

Oleh Sohibul Wapa Atoillah, S.H.I., M.H.

Perkembangan teknologi digital membawa perubahan besar dalam pola transaksi ekonomi masyarakat. Jika dahulu orang harus datang langsung ke pasar atau toko untuk membeli barang, kini cukup dengan sentuhan jari di layar ponsel, berbagai kebutuhan bisa diperoleh dengan mudah melalui platform perdagangan elektronik atau e-commerce. Fenomena ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, apalagi dengan gaya hidup serba cepat yang menuntut efisiensi. E-commerce tidak hanya menawarkan kemudahan dan kenyamanan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja, dan memperluas pasar bagi pelaku usaha. Namun, di balik manfaatnya, hadir pula tantangan serius terutama terkait dengan perlindungan konsumen.

Dalam transaksi e-commerce, hubungan antara penjual dan pembeli tidak lagi bertatap muka secara langsung. Segala proses dilakukan secara digital, mulai dari pemilihan produk, pembayaran, hingga pengiriman. Situasi ini menimbulkan kerentanan baru yang berbeda dari transaksi konvensional. Konsumen seringkali menghadapi risiko penipuan, barang tidak sesuai deskripsi, keterlambatan pengiriman, penyalahgunaan data pribadi, hingga ketiadaan kepastian hukum ketika terjadi sengketa. Karena itu, perlindungan konsumen menjadi isu yang sangat penting agar hak-hak mereka tetap terjamin di tengah pesatnya perkembangan perdagangan digital.

Secara hukum, Indonesia telah memiliki kerangka dasar melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini memberikan jaminan hak bagi konsumen, seperti hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa, serta hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Namun, dalam praktik e-commerce, banyak persoalan yang belum sepenuhnya terakomodasi oleh regulasi tersebut. Misalnya, masalah tanggung jawab ketika barang tidak sesuai dengan pesanan: apakah penjual, penyedia platform, atau pihak kurir yang harus dimintai pertanggungjawaban? Kekosongan hukum semacam ini seringkali merugikan konsumen yang tidak tahu harus melapor kepada siapa ketika dirugikan.

Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjadi dasar hukum transaksi digital. UU ITE mengatur mengenai keabsahan dokumen elektronik, transaksi elektronik, hingga perlindungan data pribadi. Namun, regulasi ini masih lebih menekankan pada aspek legalitas transaksi daripada memberikan perlindungan langsung terhadap konsumen. Di sinilah terlihat kebutuhan mendesak untuk memperkuat instrumen hukum yang lebih spesifik mengatur e-commerce agar konsumen tidak berada pada posisi lemah.

Implikasi hukum dari perkembangan e-commerce juga terlihat dalam tanggung jawab penyedia platform. Banyak platform besar beroperasi sebagai perantara antara penjual dan pembeli, namun sering kali mereka menolak bertanggung jawab ketika terjadi sengketa. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana platform dapat diminta tanggung jawab atas kerugian konsumen? Beberapa negara telah menetapkan aturan tegas bahwa platform wajib bertanggung jawab atas transaksi yang berlangsung di dalam sistem mereka, sementara di Indonesia hal ini masih menjadi perdebatan. Regulasi yang jelas sangat dibutuhkan agar konsumen memiliki kepastian hukum.

Di sisi lain, konsumen sendiri seringkali berada pada posisi yang tidak seimbang dalam hal informasi. Penjual atau platform memiliki akses dan kendali penuh terhadap informasi produk, sedangkan konsumen hanya bisa menilai berdasarkan deskripsi dan ulasan yang tersedia. Ketika informasi tersebut menyesatkan, konsumenlah yang paling dirugikan. Karena itu, kejujuran informasi menjadi salah satu prinsip dasar yang harus dijunjung dalam transaksi e-commerce, dan pelanggaran atas hal ini harus dapat dikenai sanksi hukum yang tegas.

Perlindungan konsumen dalam e-commerce juga berkaitan erat dengan isu perlindungan data pribadi. Banyak kasus kebocoran data yang membuat konsumen rentan terhadap penipuan dan penyalahgunaan identitas. Situasi ini semakin menegaskan pentingnya keberadaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, yang memberikan dasar hukum bagi masyarakat untuk menuntut hak atas keamanan informasi pribadinya. Dalam konteks e-commerce, perlindungan data pribadi tidak hanya soal keamanan teknis, tetapi juga soal etika dan transparansi dalam penggunaan data oleh pelaku usaha dan platform.

Leave a Reply